BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk bergaul dan
berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa, baik dalam bentuk tulisan,
percakapan, bahasa isyarat maupun ekspresi wajah. Untuk berkomunikasi
secara efektif perlu memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Nilai-nilai tersebut harus diberikan sedini mungkin agar tertanam
hal-hal mana yang baik dan buruk, yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
bagaimana bersilap dan bertutur kata yang baik terhadap orang lain.
Pembelajaran nilai-nilai tersebut harus dengan contoh yang konkret agar
mudah difahami anak.
1.2 Rumusan Masalahan
Bagian-bagian yang
terkait dengan berbagai permasalahan yang terjadi dalam hal bahasa,
khususnya kemampuan murid dalam berbicara (bahasa lisan). Adapun
bagian-bagian yang akan dibahas tersebut, yaitu struktur ragam bahasa
lisan (fonologi, morfologi, leksikal, sintaksis), ragal bahasa lisan,
fungsi bahasa, keterkaitan antara penggunaan ragam dan fungsi bahasa,
isi pesan komunikasi dan pemahaman guru terhadap isi/pesan yang
disampaikan anak-anak dwibahasawan sekolah dasar. Bagian-bagian tersebut
secara formal terjadi dalam konteks komunikasi di kelas melalui proses
belajar-mengajar.
1.3 Tujuan Penulisan
Kemampuan berbahasa
Indonesia adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi masyarakat
Indonesia, tidak terkecuali murid sekolah dasar. Dalam bidang pendidikan
dan pengajaran di sekolah dasar, bahasa Indonesia merupakan mata
pelajaran pokok. Pelajaran bahasa Indonesia diajarkan kepada murid
berdasarkan kurikulum yang berlaku, yang di dalamnya (kurikulum
pendidikan dasar) tercantum beberapa tujuan pembelajaran. Salah satu
tujuan pokoknya adalah murid mampu dan terampil berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar setelah mengalami proses belajar mengajar di
sekolah. Keterampilan berbahasa itu tidak saja meliputi satu aspek,
tetapi di dalamnya termasuk kemampuan membaca, menulis, mendengarkan
(menyimak), dan berbicara. Dalam proses pemerolehan dan penggunaannya,
keterampilan berbahasa tersebut saling berkaitan.
1.4 Metode Penulisan
Metode
yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini ialah menggunakan studi
pustaka atau dengan mengumpulkan bahan atau data dari berbagai sumber
buku yang berhubungan dengan perkembangan bahasa pada anak sekolah
dasar.
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan
tugas akhir ini ialah untuk mengetahui lebih dalam mengenai
karakteristik perkembangan anak sekolah dasar khususnya pada
perkembangan bahasanya agar kelak kita dapat mengembangkan potensi
berbahasa anak didik secara optimal sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai.
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia sebagai mahluk
sosial tidak dapat dipisahkan dari kegiatan saling berkomunikasi dan
bentuk komunikasi manusia merupakan yang paling sempurna daripada
binatang, karena manusia dapat melakukannya melalui berbagai sarana dan
prasarana yang ada. Untuk berkomunikasi manusia memerlukan sautu media,
terutama yaitu bahsa. Oleh karenanya setiap masyarakat mempunyai suatu
media untuk berinteraksi dengan yang lainnya.
Bahasa merupakan alat
untuk berkomunikasi dengan orang lain, tercakup semua cara untuk
berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk
lambing atau symbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti
dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan dan mimik
muka.
Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan
hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Allah SWT, yang dengannya manusia
dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam dan
penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai mahluk berbudaya
dan mengembangkan budayanya.
Tiap individu dituntut untuk memiliki
kemampuan menyatakan atau mengekspresikan pikirannya dan menangkap
pemikiran orang lain melalui bahasa, sehingga komunikasi menjadi
efektif. Anak-anak lebih dapat mengerti apa yang dikatakan orang lain
daripada mengutarakan pikiran dan perasaan mereka dengan kata-kata.
Semakin
matang organ-organ yang berkaitan dengan proses berbicara seperti alat
bicara dan pertumbuhan atau perkembangan otak, anak semakin jelas dalam
mengutarakan kemauan, pikiran maupun perasaannya melalui ucapan atau
bahasa. Hal itu tidak lepas ari pengaruh lingkungan, terutama orang tua
atau keluarga. Anak yang selalu mendapat motivasi positif akan terpacu
untuk mengembangkan potensi bicaranya.
Unsur Dasar Bahasa
Sebagai suatu alat komunikasi, bahasa memiliki seperangkat sistem yang satu sama lain saling mempengaruhi yaitu:
a.
Fonologi, merupakan salah satu bagian dari tata bahasa yang mempelajari
bunyi-bunyi bahasa pada umumnya. Fonologi mempelajari fungsi dari
sistem pembeda bunyi dalam suatu bahasa, mancoba menetapkan
aturan-aturan untuk menentukan dan membedakan fonem satu dengan yang
lain dan begaimana ia dapat berfunngsi didalam sistematika bahasa,
sehingga komunikasi dapat menjadi lebih efektif.
Fonem yaitu unsur
terkecil dari bunyi ucapan yang bisa digunakan untuk membedakan arti
dari satu kata. Contohnya kata ular dan ulas memiliki arti yang berbeda
karena perbedaan pada fonem /er/ dan /es/. Setiap bahasa memiliki jumlah
dan jenis fonem yang berbeda-beda. Misalnya bahasa Jepang tidak
mengenal fonem /la/ sehingga perkataan yang menggunakan fonem /la/
diganti dengan fonem /ra/.
b. Morfologi ialah ilmu yang membicarakan morfem serta bagaimana morfem itu dibentuk menjadi kata.
Morfem
yaitu unsur terkecil dari pembentukan kata dan disesuaikan dengan
aturan suatu bahasa. Pada bahasa Indonesia morfem dapat berbentuk
imbuhan. Misalnya kata praduga memiliki dua morfem yaitu /pra/ dan
/duga/. Kata duga merupakan kata dasar penambahan morfem /pra/
menyebabkan perubahan arti pada kata duga.
c. Sintaksis yaitu
penggabungan kata menjadi kalimat berdasarkan aturan sistematis yang
berlaku pada bahasa tertentu. Dalam bahasa Indonesia terdapat aturan SPO
atau subjek-predikat-objek. Aturan ini berbeda pada bahasa yang
berbeda, misalnya pada bahasa Belanda dan Jerman aturan pembuatan
kalimat adalah kata kerja selalu menjadi kata kedua dalam setiap
kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa Inggris yang memperbolehkan kata
kerja diletakan bukan pada urutan kedua dalam suatu kalimat.
d. Semantik ialah studi yang mempelajari arti dan makna dari suatu bahasa yang dibentuk dalam suatu kalimat.
e. Diskurs mengkaji bahasa pada tahap percakapan, paragraf, bab, cerita atau literatur.
Bahasa
telah berkembang sejak anak berusia 4 – 5 bulan. Orang tua yang bijak
selalu membimbing anaknya untuk belajar berbicara mulai dari yang
sederhana sampai anak memiliki keterampilan berkomunikasi dengan
mempergunakan bahasa. Oleh karena itu bahasa berkembang setahap demi
setahap sesuai dengan pertumbuhan organ pada anak dan kesediaan orang
tua membimbing anaknya.
Fungsi bahasa manusia antara lain untuk
mengekspresikan perasaan, merupakan kalimat spontan yang terucap tanpa
ada tujuan apapun dan kepada siapapun, untuk mempengaruhi orang lain,
merupakan kalimat batau isyarat yang dapat menyebabkan orang lain
terpengaruh, dan untuk menyampaikan informasi, merupakan kalimat untuk
menyampaikan informasi atau pemberitahuan kepada orang lain.
Sebelum dapat berbicara lancar, ada tahapan yang biasa dilalui seseorang, antara lain :
1.
Menangis, merupakan cara yang biasa dilakukan oleh bayi untuk
berkomunikasi dan melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya.
2. Berceloteh, dilakukan oleh anak sebelum usia 2 tahun.
3. Holofrase, dilakukan oleh anak setelah usia 2 tahun sampai menjelang sekolah.
4.
Mengobrol, disebut juga social speech merupakan bentuk berbicara yang
mempunyai makna social, bertujuan agar pembicaraannya didengar dan
dimengerti oleh orang lain.
Potensi anak berbicara didukung oleh
beberapa hal. Yaitu: (a) kematangan alat berbicara, (b) kesiapan mental,
(c) adanya model yang baik untuk dicontoh oleh anak, (d) kesempatan
berlatih, (e) motivasi untuk belajar dan berlatih dan (f) bimbingan dari
orang tua.
Di samping adanya berbagai dukungan tersebut juga
terdapat gangguan perkembangan berbicara bagi anak, yaitu: (a) anak
cengeng, (b) anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain. Sedangkan
Faktor-faktor yang Memeacu Anak Cepat Berbicara ialah Keluarga yang
paling utama, Media Elektronik dan Sekolah
2.1 Bahasa Lisan
Ada
dua ragam komunikasi yang digunakan manusia melalui bahasa, yaitu ragam
bahasa lisan dan ragam tulisan. Sebagaimana diungkapkan oleh Moeliono
(Ed.), bahwa ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam
lisan dan ragam tulisan (1988: 6).
Dalam penggunaannya, kedua ragam
ini pada umumnya berbeda. Penggunaan ragam bahasa lisan mempunyai
keuntungan, yaitu karena bahasa ragam lisan digunakan dengan hadirnya
peserta bicara, maka apa yang mungkin tidak jelas dalam pembicaraan
dapat dibantu dengan keadaan atau dapat langsung ditanyakan kepada
pembicara. Hal ini menunjukan bahwa peranan penggunaan bahasa ragam
lisan itu penting.
Berkaitan dengan ini, Pateda (1987: 63)
menyebutkan bahwa ada empat alasan mengapa bahasa lisan itu penting
dalam komunikasi, yaitu:
1. faktor kejelasan, karena pembicara
menambahkan unsur lain berupa tekan dan gerak anggota badan agar
pendengar mengerti apa yang dikatakannya
2. faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakan
3. dapat disesuaikan dengan situasi, artinya meskipun gelap orang masih bisa berkomunikasi, dan
4.
faktor efisiensi, karena dengan bahasa lisan banyak yang dapat
diungkapkan dalam waktu yang relatif singkat dan tenaga yang sedikit.
Sebaliknya, berbeda halnya dengan penggunaan ragam bahasa tulisan.
Apa
yang tidak jelas dalam bahasa tulisan tidak dapat ditolong oleh situasi
seperti bahasa lisan. Dalam bahasa lisan, apabila terjadi kesalahan,
pada saat itu pula dapat dikoreksi, sedangkan dalam bahasa tulisan
diperlukan keseksamaan yang lebih besar.
Badudu (1985: 6) menjelaskan
pula perbedaan bahasa lisan dan tulisan. Menurutnya, bahasa lisan lebih
bebas bentuknya daripada bahasa tulisan karena faktor situasi yang
memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur, sedangkan
dalam bahasa tulisan, situasi harus dinyatakan dengan kalimat-kaliamt.
Di samping itu, bahasa lisan yang digunakan dalam tuturan dibantu
pengertiannya, jika bahasa tutur itu kurang jelas oleh situasi, oleh
gerak-gerak pembicara, dan oleh mimiknya. Dalam bahasa tulisan, alat
atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak
ada. Itulah sebabnya, bahasa tulis harus disusun lebih sempurna.
2.2 Penggunaan Bahasa Ragam Lisan
Berbicara
tentang penggunaan bahasa, tentunya tidak terlepas dari penutur-penutur
bahasa itu atau orang yang menggunakan bahasa dalam kehidupan
bermasyarakat. Penutur-penutur bahasa itu, dalam proses sosialisasinya
dapat berfungsi sebagai pembicara, penulis, pembaca dan pendengar atau
penyimak. Penyimak dan pembaca dalam hal proses berbahasa ini berfungsi
sebagai penerima, sedangkan pembicara dan penulis berfungsi sebagai
orang yang memproduksikan (menghasilkan) bahasa. Komunikasi di antara
pembicara dan pendengar atau penulis dengan pembaca dapat berjalan
lancar, apabila di antara kedua belah pihak terdapat dalam masyarakat
bahasa yang sama.
Dengan demikian, setiap bahasa memiliki seperangkat
sistem, yaitu sistem bunyi bahasa, sistem gramatikal (tata bentuk kata,
tata bentuk kalimat), tata makna, dan kosa kata. Perangkat sistem ini
ada dalam benak penutur. Saussure memberinya istilah dengan langue,
yaitu totalitas dari sekumpulan fakta satu bahasa. Ini sebagai satu
gudang segala fakta kebahasaan yang ada pada setiap orang. Istilah
competence (kompetensi) diartikan sebagai
“… the speaker hearers
knowledge of his language …” (Aiwasilah, 1985: 4). Langue adalah sesuatu
yang ada pada setiap individu, sama bagi semuanya dan berbeda di luar
kemauan penyampainya. Langue adalah suatu sistem yang memiliki susunan
sendiri. Langue merupakan norma dari segala pengungkapan bahasa. Berbeda
halnya dengan penggunaan bahasa, karena penggunaan bahasa bersifat
heterogen. Konsep penggunaan bahasa itu didasari teori Sassure, yaitu
diistilahkan dengan parole. Parole adalah bahasa sebagaimana ia dipakai
karena itu sangat bergantung pada faktor-faktor linguistik ekstern
(Sassure dan Rahayu, 1988: 88). Kaitannya dengan penelitian ini
penggunaan bahasa yang dimaksud adalah parole.
Setiap penutur dapat
dikatakan terampil berbahasa apabila ia memiliki kompetensi atau langue
dari bahasa yang dikuasainya. Keterampilan bahasa yang terdiri dari
berbicara, mendengar, menulis, membaca ini pun pada umumnya jarang
dikuasainya penutur yang sama baiknya. Ada penutur yang terampil
berbicara, tetapi kurang terampil menulis dan begitu pula halnya dengan
keterampilan yang lainnya. Namun, dengan pemakaiannya keterampilan
penutur dalam menggunakan bahasa sesuai dengan sistem-sistem di atas,
belumlah dapat dikatakan mampu berbahasa dengan baik. Dalam hal ini
Rusyana (1984: 104) menjelaskan bahwa berbahasa dengan baik berarti
bukan saja dapat menguasai struktur bahasa dengan baik, tetapi juga
dapat memakainya secara serasi, sesuai pokok permasalahan, tokoh bicara,
dan suasana pembicaraan.
Dengan demikian, seorang penutur harus
lebih cermat dalam menggunakan bahasanya, supaya apa yang ingin
diungkapkan dapat diterima oleh lawan tuturnya. Untuk itu, setiap
penutur harus menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan situasi dan
fungsinya. Berkaitan dengan ini Anton Moeliono (Ed.) menguraikan bahwa
orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai
sasarannya, apa pun jenisnya itu disebut berbahasa dengan efektif.
Bahasanya memberikan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau
keadaan yang dihadapinya. Orang yang berhadapan dengan sejumlah
lingkungan hidup memilih salah satu ragam yang cocok dengan situasi
itu. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur
dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik dan
tepat (1988: 19).
Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah bahwa
bahasa itu terdiri dari berbagai ragam. Ragam itu ada yang berhubungan
dengan pemakaian bahasa dan ada pula yang berhubungan dengan
pemakaiannya. Dalam hal ini Fishman (1972: 149) membedakan variasi
bahasa tersebut menurut penuturnya (user), yang disebut dengan dialek,
dan variasi bahasa menurut penggunaannya (use) disebut dengan istilah
register.
Penggunaan bahasa mengenal berbagai variasi. Bahasa yang
digunakan oleh seseorang akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh
orang lain. Kevariasian bahasa itu dipengaruhi oleh siapa yang
berbicara, lawan bicara, situasi, topik pembicaraan, dan sebagainya. Del
Hymas merinci faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi
delapan faktor, yaitu :
1. setting and scence, yang mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi,
2. participant, yang mengacu kepada peserta komunikasi yang terdiri atas pembicara/pengirim, pendengar/penerima,
3. ends (pupose and goals), yang mengacu kepada tujuan dan hasil atau harapan mengadakan komunikasi,
4. actsequence, yang mengacu kepada bentuk dan isi pesan komunikasi,
5. key, yang mengacu kepada gaya, ragam bahasa yang digunakan dalam komunikasi,
6.
instrumentalities, yang mengacu kepada sarana atau perantara yang
digunakan dalam komunikasi dan bentuk tuturan, bahasa, dialek,
7. norms, yang mengacu kepada norma perilaku dalam berinteraksi, interpretasi komunikasi, dan
8.
genres, yang mengacu kepada bentuk dan jenis bahasa yang digunakan
dalam komunikasi, misalnya cerita, prosa puisi (Hymes dalam Bell, 1976:
81).
Untuk mengetahui ragam bahasa apa yang dipakai oleh seseorang kita dapat mengenalnya melalui
1. pilihan kata atau leksis,
2. fonologi,
3. morfologi,
4. sintaksis, dan
5. intonasi (Badudu, 1991: 85).
Sejalan
dengan pendapat tersebut, Nebaban (1984: 22) menjelaskan bahwa setiap
bahasa mempunyai banyak ragam, yang dipakai dalam keadaan atau
keperluan/tujuan yang berbeda-beda. Ragam-ragam itu menunjukan perbedaan
struktural dalam unsur-unsurnya. Perbedaan struktural ini berbentuk
ucapan, intonasi, morfologi, identitas kata-kata, dan sintaksis.
Berkaitan dengan pendapat di atas, dalam penelitian ini akan memfokuskan
pada pemakaian bahasa, yang dilihat dari segi fonologi
(pelafalan/pengucapan), morfologi (bentuk kata), leksis (pilihan kata),
kosakata dan sintaksis (kalimat).
2.3 Pelafalan (Pengucapan)
Masyarakat
Indonesia terdiri dari beratus-ratus suku, dan masing-masing suku
memiliki bahasa daerah. Bahasa daerah tersebut dipergunakan oleh bangsa
(masyarakat) Indonesia sebagai sarana komunikasi antar suku, dan juga
dipergunakan di lingkunagn keluarga. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau bahasa daerah tersebut sudah menyatu dengan kehidupan
masyarakat di Indonesia. Keadaan seperti ini akan berpengaruh terhadap
pemakaian bahasa Indonesia. Pengaruh tersebut beragam. Ada pengaruh
lafal, ada pengaruh bentuk kata, ada pengaruh makna kata, ada juga
pengaruh struktur kalimat. Lagi pula agaknya pengaruh-pengaruh tersebut
sulit untuk dihindari dengan sepenuhnya. Seperti dikatakan oleh Badudu
(1985: 12) bahwa tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari
pengaruh itu seratus persen. Lebih lanjut dikatakannya, yang mungkin
adalah bahwa pengaruh ini sangat sedikit, sehingga sukar kita menerka
dari suku manakah orang yang bertutur itu berasal.
Dari beberapa
pengaruh tersebut, tampaknya pengaruh lafal bahasa daerah sering kita
dengar. Badudu (1985: 12) menjelaskan bahwa yang sering sukar dihindari
adalah pengaruh lafal bahasa daerah, karena lidah penutur yang sudah
“terbentuk” sejak kecil oleh lafal bahasa daerahnya. Bila kita
perhatikan lafal orang Tapanuli misalnya, kata-kata yang befonem /e/
akan dilafalkan dengan /E/. Kata-kata seperti mengapa, karena, kemana,
diucapkan dengan menggunakan /e/ benar. Atau orang yang berasal dari
Jawa, akhirankan akan diucapkan dengan /ken/. Demikian pula dengan
suku-suku lain misalnya Sunda, Bali, Aceh, bila berbicara akan diwarnai
oleh pengaruh bahasa daerahnya.
Bila seseorang dalam berbahasa
Indonesia (lisan) terdengar bahasa daerahnya, maka lafalnya tergolong
lafal nonbaku. Akan tetapi, bila seseorang dalam berbahasa Indonesia
tidak terdengar lafal bahasa daerahnya, maka lafalnya dapat digolongkan
kepada bahasa baku (standar). Mengenai pengertian lafal baku tersebut,
Badudu (1980: 115) menjelaskan bahwa lafal bahasa Indonesia baku adalah
lafal yang tidak memperdengarkan “warna” lafal bahasa daerah atau
dialek, juga tidak memperdengarkan “warna” lafal bahasa asing seperti
bahasa Belanda, Inggris atau Arab. Kemudian, Soemantri (1987: 11)
mengemukakan bahwa lafal bahasa Indonesia yang standar adalah tuturan
bahasa Indonesia yang tidak terlalu menonjol ciri lafal daerah
penuturnya.
2.4 Struktur Bahasa Ragam Lisan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Dalam
wujudnya, bahasa yang kita gunakan terdiri dari unsur bunyi, bentuk
morfologis, sintaksis dan semantik. Unsur-unsur bahasa itu tidak lagi
dipandang sebagai sesuatu yang terpisah-pisah. Dalam bahasa lisan,
unsur-unsur tersebut terangkai dalam wujud kalimat yang saling
berkaitan. Kalimat yang pertama pada dasarnya digunakan sebagai acuan
munculnya kalimat yang kedua, kalimat kedua dapat memunculkan kalimat
ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, memahami bahasa lisan seseorang
dapat dilakukan, antara lain dengan cara menganalisis unsur-unsur bahasa
dan aturan yang berlaku dalam bahasa itu.
Uraian di atas memberikan
gambaran bahwa struktur bahasa ragam lisan anak-anak pun dapat
dianalisis melalui unsur-unsur bahasa yang dugunakannya. Di samping itu,
aturan-aturan yang berlaku juga dapat digunakan sebagai tolak ukur baku
atau tidaknya penggunaan bahasa secara keseluruhan.
Dari deskrifsi
dan hasil analisis data, struktur bahasa ragam lisan anak-anak
dwibahasawan masih dipengaruhi oleh bahasa ibu dan bahasa percakapan.
Hal ini disebabkan oleh lingkungan terjadinya peristiwa bahasa, seperti
frekuensi penggunaan bahasa ibu yang dominan. Anak-anak cenderung atau
lebih sering menggunakan bahasa ibu daripada bahasa Indonesia ketika di
rumah. Peristiwa itu terjadi karena faktor lingkungan (keluarga dan
masyarakat) mendominasi terjadinya penggunaan bahasa daerah setempat.
Efek dari peristiwa itu, maka penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun
diwarnai bahasa daerah. Dalam hal ini, ada beberapa hal, yang dapat
dikemukakan berkenaan dengan peristiwa tersebut.
1. Upaya yang
dilakukan guru pada saat proses belajar berlangsung adalah digunakan
bahasa Indonesia yang baik oleh guru ketika mengajar di kelas. Pada saat
proses belajar berlangsung terjadi berbagai ungkapan pikiran dan
perasaan melalui bahasa lisan. Dalam peristiwa itu pun terjadi
penggunaan struktur bahasa lisan pada anak-anak. Karena pada umumnya
para murid tergolong dwibahasawan, maka dalam peristiwa itu pun ragam
bahasa lisan (baku dan tidak baku) tidak bisa dielakkan. Meskipun
demikian, secara umum anak-anak telah mampu menggunakan seperangkat
penanda linguistik yang diperlukan dalam berbahasa lisan sehingga mampu
mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan orang lain. Keseluruhan sistem
bahasa itu meliputi bidang fonologi, morfologi, leksikal, semantik dan
sintaksis.
2. Digunakannya ragam baku dan tidak baku dalam peristiwa
komunikasi pada prinsipnya tidak mengganggu proses belajar mengajar di
kelas. Hal ini disebabkab oleh penggunaan ragam baku yang lebih sering
digunakan dari pada ragam tidak baku. Ragam tidak baku pada dasarnya
digunakan anak-anak atas dasar pertimbangan situasi dan sosial. Situasi
atau konteks peristiwa yang terjadi itu memang mengharapkan penggunaan
ragam tidak baku oleh anak-anak. Misalnya, ketika meminjam buku,
menyuruh, bertanya, dan marah dengan temannya yang sebahasa (bahasa
ibu).
Pada dasarnya anak-anak usia sekolah dasar telah menguasai
struktur bahasa secara sempurna. Pada usia ini anak-anak di samping udah
matang organ-organ bicaranya, mereka juga mampu merespon pembicaraan
orang lain. Kematangan anak-anak dapat diwujudkan secara verbal, seperti
penggunaan bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat-kalimat komplek. Data
yang diperoleh dalam penelitian ini pun menunjukan bahwa penggunaan
bentuk-bentuk morfologi dalam kalimat anak-anak dwibahasawan secara
struktur sudah baik.
Hal ini terlihat pada kemapuan dalam penggunaan
afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Hanya terjadi beberapa kesalahan
penggunaan afiksasi karena pengaruh bahasa daerah atau bahasa
percakapan sehari-hari. Hal ini, antara lain dapat terlihat pada
penghilangan awalan me- dalam kata manjat, metik, nembak, dan mbeli
(tidak baku), yang seharusnya memanjat, memetik, menembak, dan membeli
(baku). Kesalahan juga terjadi pada kata ngambilin dan nunggu (tidak
baku), seharusnya mengambil dan menunggu. Di samping itu, terjadi juga
beberapa kesalahan penggunaan pada kata ulang. Yang dimaksud adalah
bintangnya-bintang dan mutar-mutar (tidak baku), seharusnya
bintang-bintang dan berputar-putar. Salah satu hal yang paling sempurna
adalah penggunaan pemajemukan. Artinya, tidak ditemukan kesalahan dalam
penggunaan kata majemuk pada bahasa lisan anak-anak dwibahasawan.
Pilihan
kata, kosakata atau istilah, dan penggunaannya dalam ujaran sangat
mempengaruhi isi pembicaraan. Pilihan kata atau istilah yang tepat dan
penggunaan kata yang baku dalam konteks pembicaraan akan mencerminkan
kemampuan berbahasa. Artinya, makna atau isi pembicaraan akan terwakili
secara jelas berdasarkan ketepatan dalam penggunaannya. Dalam hal ini,
pilihan kata atau istilah-istilah yang digunakan anak-anak dwibahasawan
secara umum dapat dikatakan baik (baku) bila diukur dengan konteks
pembicaraan. Berbagai pilihan dan penggunaan kata terkait langsung
dengan topik pembicaraan, terarah, kontekstual, dan situasional. Di
dalam konteks komunikasi formal, topik prmbicaraan yang telah ditentukan
dapat dibahas bersama sesuai dengan pengalaman hidup sehari-hari.
Keterkaitan
itu terbukti oleh adanya saling dimengerti topik pembicaraan yang yang
dibicarakan melalui berbagai pilihan atau penggunaan kata atau istilah.
Hanya ada beberapa pilihan kata yang menyimpang akibat pengaruh bahasa
ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari. Pilihan dan penggunaan kata daerah
digunakan anak-anak dwibahasawan karena kesulitan mencari padanannya.
Hal ini terdapat pada kata daerah (Jawa), seperti pangnya, nyucuk, dan
membandil (Indonesia=cabang pohon, mematuk makanan melalui paruh burung,
dan melempar batu dengan ketapel). Selain itu, ada beberapa pilihan dan
penggunaan kata yang disebabkan oleh bahasa pergaulan. Kata-kata itu,
antara lain cuma, aja, nggak, dan duren (tidak baku), seharusnya hanya,
saja, tidak dan durian (baku).
Penggunaan bahasa lisan banyak
kelonggaran bila dibandingkan dengan bahasa tulisan. Akan tetapi, bukan
berarti penggunaan dapat dilakukan seenaknya. Dalam menggunakan bahasa
lisan perlu diperhatikan oleh setiap penutur mengenai situasi, lawan
bicara dan masalah yang dikemukakan. Kaitan dengan penilaian ini,
struktur kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan berupa (1) topik
komentar, (2) kalimat deklaratif aktif lebih banyak daripada konstruksi
pasif, dan (3) lepasnya unsur subjek, predikat, dan objek.
Sesuai
dengan sifat dan penggunaannya, maka penggunaan bahasa lisan anak-anak
lebih banyak berisi komentar. Hal ini terjadi karena topik yang harus
disampaikan dalam proses komunikasi memerlukan penjelasan. Misalnya,
anak-anak harus menjelaskan ‘pentingnya memelihara lingkungan’,
’menceritakan pengalaman pribadi’, dan ‘bagaimana cara belajar yang
baik’. Rangkaian penjelasan itu secara kongkrit diungkapkan melalui
kalimat-kalimat yang sesuai dan saling terkait. Dalam wujudnya,
kalimat-kalimat yang digunakan anak-anak dwibahasawan terdiri dari
beberapa kalimat deklaratif aktif, dalam hal ini konstruksi pasif jarang
terjadi. Selanjutnya, struktur kalimat yang terjadi pada anak-anak
dwibahasawan adalah lesapnya unsur subjek, predikat dan objek. Meskipun
demikian, lesapnya unsur-unsur kalimat tersebut masih dapat dianggap
wajar karena hal itu terjadi dalam konteks bahasa lisan atau hadirnya
antara pembicara (komunikator) dan pendengar (komunikan). Kenyataan
seperti ini juga dijelaskan oleh Rusyana (1984: 130), bahwa dalam
penuturan lisan, pembicara dan pendengar ada dalam ruang dan waktu yang
memberikan kemungkinan untuk berkontak secara lanfsung. Situasinya juga
diketahui oleh kedua belah pihak.
Andaikan ada yang tidak dipahami,
dapat ditanyakan dan kemudian dijelaskan. Karena itu, walaupun ada yang
jika dipandang dari kalimat-kalimat yang digunakan, tidak begitu jelas,
ketidak jelasan itu mungkin sudah teratasi oleh pemahaman terhadap
hubungan dalam peristiwa pembicaraan atau langsung dijelaskan oleh
pembicara. Dengan demiklian, penyimpangan-penyimpangan struktur kalimat
dan lesapnya unsur-unsur kalimat dalam ujaran anak-anak dwibahasawan
disebabkan oleh sifat bahasa lisan itu sendiri. Dengan kata lain,
penyimpangan-penyimpangan struktur bahasa lisan yang digunakan anak-anak
dwibahasawan SD masih dalam batas kewajaran.
Berbagai uraian di atas
pada dasarnya terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang paling
dominan karena pada umumnya masyarakat Indonesia, termasuk juga
anak-anak sekolah dasar tergolong masyarakat dwibahasawan. Sebagai
masyarakat dwibahasawan tentunya mereka mampu menggunakan lebih dari
satu bahasa. Keadaan seperti ini tentu akan mempengaruhi penggunaan
bahasa Indonesia mereka dalam komunikasi sehari-hari, baik dalam tataran
formal ataupun nonformal.
Kedwibahasaan seseorang di dalam
masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari kemampuannya menggunakan dua
bahasa atau lebih. Sebelum seseorang menguasai dua bahasa atau lebih,
yang pertama kali mempengaruhi mendasari bahasa seseorang umumnya adalah
bahasa ibu. Bahasa ibu, yang merupakan bahasa pertama biasanya
diperoleh dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. Kecenderungan
pemakaian bahasa ibu atau bahasa pertama sangat tergantung pada bahasa
yang paling dominan dipergunakan di tengah-tengah masyarakat. Terutama
di daerah-daerah pedesaan, biasanya yang dominan adalah bahasa ibu
daerah. Dalam rentang waktu selanjutnya, sesuai dengan usianya kemudian
seseorang akan mempelajari bahasa kedua. Bagi anak-anak, hal ini akan
dialami apabila anak-anak mulai masuk sekolah.Dari perjalanan waktu dan
usia sekolah itulah, maka akan diperoleh dan dikuasai bahasa kedua,
sehingga mereka dapat menguasai lebih dari satu bahasa.
Sebagian
besar masyarakat, termasuk anak-anak sekolah dasar kebanyakan berbahasa
ibu bahasa daerah. Meskipun anak-anak telah memasuki sekolah, karena
sebagian besar masyarakat menggunakan bahasa daerah, maka pemakaian
bahasa daerahlah yang cenderung dominan dalam berkomunikasi. Hal ini
terbukti karena bahasa daerah lebih sering digunakan bila dibandingkan
dengan bahasa yang lain, misalnya bahasa Indonesia. Dengan demikian,
kita tidak heran bila kalau bahasa daerah atau bahasa percakapan akan
mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia penuturnya.
2.5 Ragam Bahasa Lisan yang Digunakan Anak-anak Dwibahasawan di SD
Penggunaan
bahasa Indonesia lisan dalam situasi formal atau resmi hendaknya
digunakan ragam bahasa baku. Demikian juga, dalam proses belajar
mengajar di kelas, karena dituntut penggunaan bahasa yang cermat
terutama terkait dengan keperluan keilmuan, maka hendaknya menggunakan
bahasa Indonesia ragam baku. Namun, tidak dapat disangkal bahwa
seseorang (dwibahasawan) akan mengalihkan atau mencampurkan bahasa lain
ke dalam bahasa yang sedang digunakan pada saat komunikasi sedang
berlangsung. Hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan.
Alasan-alasan
itu, antara lain agar pembicaraan dapat berlangsung komunikatif, untuk
menunjukan status sosialnya, dan kesulitan mencari padanan kata. Senada
dengan hal ini, Grosjean (1982: 149) menjelaskan, bahwa kegiatan beralih
bahasa (kode) terjadi manakala dwibahasawan kekurangan fasilitas pada
suatu bahasa pada saat dwibahasawan itu mengemukakan suatu topik. Alih
kode juga terjadi sewaktu dwibahasawan menemukan kata yang sulit
diungkapkannya tidak ada padanan yang tepat. Selanjutnya alih kode
sering terjadi ketika dwibahasawan sedang dalam keadaan lelah, atau
sedang marah.
Berdasarkan deskripsi dan hasil analisis data ditemukan
pergantian bahasa dalam ujian lisan anak-anak dwibahasawan ketika
berinteraksi atau mengikuti pelajaran di kelas, yaitu pergantian
penggunaan ragam baku keragam tidak baku atau sebaliknya. Pergantian
ragam baku ke ragam tidak baku terjadi apabila interaksi terjadi antar
anak-anak atau antara anak dan guru yang sebahasa ibu. Adapun faktor
lain yang menyebabkan timbulnya peralihan bahasa (kode) tersebut
disebabkan oleh kesulitan mencari padanan kata dan faktor situasi yang
melingkupinya.
Faktor-faktor situasional ini terjadi pada anak-anak
dwibahasawan, khususnya ketika proses belajar-mengajar berlangsung,
sementara mereka mengalami berbagai kendala. Wujud kendala itu adalah
berupa kesulitan-kesulitan tertentu, seperti pada saat merespon atau
memahami materi pelajaran. Di samping itu, situasi kelas yang ramai,
ribut, penat dan panas (jam pelajaran terakhir), maka mereka beralih
bahasa (kode) ketika menyampaikan ujarannya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Suwito (1983: 149), bahwa ada kalanya terjadi kesenjangan
penutur dengan situasinya. Pemakaian bahasa yang demikian biasanya tidak
disadari dimaksudkan untuk mengubah situasi tertentu menjadi yang lain.
Oleh karena itu, wajarlah apabila dalam ujaran anak-anak dwibahasawan
SD terdapat ragam tidak baku ketika mengungkapkan kembali isi/materi
pelajaran di kelas.
2.6 Fungsi Bahasa yang Digunakan Anak-anak Dwibahasawan SD
Fungsi
bahasa yang paling utama adalah sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini
berbagai penjelasan mengenai fungsi bahasa telah dapat dikemukakan para
ahli bahasa. Bebereapa pakar memberikan penjelasan mengenai fungsi
bahasa dilihat dari cara pandang masing-masing. Akan tetapi, penjelasan
mengenai fungsi bahasa tersebut secara keseluruhan memiliki banyak
persamaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini,
secara konstekstual bahasa yang digunakan anak-anak dwibahasawan
berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau interaksiona, merupakan
alat untuk diri atau personal, alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan
atau heuristik, dan untuk menyatakan imajinasi dan khayal.
Selanjutnya,
dilihat dari struktur kalimatnya penggunaan bahasa lisan anak-anak
dwibahasawan berfungsi untuk menyatakan perasaan atau ekspresi,
bertanya, meminta suatu pendapat, tanggapan atau jawaban, untuk
menjelaskan informasi atau materi pelajaran, dan memberi atau membuat
contoh.
Fungsi untuk menyatakan perasaan atau ekspresi dalam ujaran
anak-anak dwibahasawan, antara lain ditandai oleh adanya rasa gembira,
senang, kagum, atau kecewa. Ungkapan ini dapat tergambar pada kalimat
(a) Aku sangat senang pergi bersama-sama keluarga, (b) Aduh, senagnya
pengalaman waktu libur, dan (c) Pada saat aku mengamati gambar tugu
monas aku heran melihat bangunan yang amat tinggi.
Fungsi untuk
menjelaskan informasi atau materi pelajaran ini terkait secara
kontekstual. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat tergambar pada kalimat (a)
Paman Mus pergi bertransmigrasi karena Gunung Galunggung meletus.
Sekarang masa depan Paman dan keluarganya terjamin, (b) Rumah Wangi
terbakar karena ledakan kompor tetangganya, dan (c) Keamanan di Desa Pak
Thomas sangat terganggu. Ayam di kandang hilang tanpa suara. Begitu
pila kambing dan ternak lainnya. Akhir-akhir ini malingnya berani
mencongkel jendela rumah Pak Lurah. Untung cepat diketahui, tapi maling
itu melarikan diri. Berkaitan dengan fungsi ‘untuk menjelaskan informasi
atau materi pelajaran’, fungsi ‘memberi atau membuat contoh’ pun
berkaitan dengan topik dan situasi pembicaraan. Fungsi tersebut dapat
digambarkan melalui kalimat (a) Ada anjungan dari berbagai daerah di
Indonesia, Pak, (b) Kita mengadakan upacara di sekolah, di desa, di
kecamatan, (c) Saya Pak, ada Burung Pipit, Kutilang, Bangau, dan (d)
Saya Pak, perlombaan panjat pinang, lari karung, tarik tambang, baca
puisi.
Fungsi ‘bertanya, meminta suatu pendapat, tanggapan, atau
jawaban’ juga terjadi karena terikat oleh konteks pembicaraan.
Pembicaraan tersebut berlangsung di kelas, ketika proses
belajar-mengajar berlangsung antara murid dan guru. Hal ini dapat
dilihat pada contoh-contoh kalimat (1) Judulnya liburan, Pak?, (2)
Judulnya apa, Pak?, (3) Pahlawan juga, ya, Pak?, (4) Judulnya Ronda
Malam, ya Bu?, (5) Di buku halaman berapa, Pak?, dan (6) Yang mana, Bu?…
Melihat
kontek ujaran anak-anak dwibahasawan di atas, pada dasarnya masih
terkait dengan fungsi-fungsi yang lain. Hal ini disebabkan oleh faktor
materi pelajaran yang disampaikan di sekolah. Materi pelajaran bahasa
Indonesia yang disajikan kepada murid pada umumnya berhubungan dengan
masalah sosial, kebudayaan, ekonomi, pertanian, dan alam sekitar.
Untuk
itu, fungsi lain yang berkaitan, antara lain bahwa bahasa dan
kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa dan kebudayaan ini
mengemban fungsi kebudayaan. Fungsi kebudayaan itu mencakup fungsi
bahasa sebagai (1) sarana pengembangan kebudayaan, (2) jalur penerus
kebudayaan, dan
(3) inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dalam konteks
itu, bahasa merupakan unsur kebudayaan yang memungkinkan pengembangan
dan perkembangan kebudayaan.
Apabila dikaitkan dengan pengajaran
bahasa Indonesia, tampak jelas bahwa pengajaran bahasa Indonesia itu
dimaksudkan untuk membuat anak didik mampu mengintegrasikan diri dalam
masyarakat Indonesia. Dengan berbahasa Indonesia diharapkan anak didik
menjadi bagian utuh dari bangsa Indonesia. Sekaitan dengan itu, bahasa
Indonesia adalah bahasa yang membuka jalan bagi kita menjadi anggota
yang seutuhnya dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu sangat penting
bagi lembaga pendidikan di sekolah dasar untuk memasyarakatkan bahasa
Indonesia kepada anak-anak.
Setidaknya terdapat tiga teori utama yang menjelaskan tentang perolehan dan perkembangan bahasa pada anak-anak, yaitu:
1. Model Behaviors
Inti
pandangan model ini ialah Language is a function of reinfoercement.
Orang tua dan guru mengajar anak berbicara dengan memberikan penguatan
sebagai prinsip pendekatan behaviorist terhadap tingkah laku verbal,
dengan pemberian penguatan ini anak belajar memberi nama pada
benda-benda secara tepat sehingga anak mengetahui arti kata-kata itu.
Hal ini dapat terjadi karena setiap kali anak berbuat suatu kesalahan
akan segera dikoreksi oleh guru dan juga orang tuanya atau masyarakat
verbal lainnya melalui penguatan yang selektif.
Penguasaan gramatika
juga terjadi dengan cara yang sama, tetapi bagaimana anak dapat tahu
arti kata-kata? Menurut teori ini anak-anak mula-mula merupakan tabula
rasa. Kata-kata yang didengarnya disimpan di dalam ingatan melalui
asosiasi. Kemudian dalam observasinya sehari-hari terhadap lingkungan,
ia melihat adanya suatu hubungan antara entry (kombinasi antara objek
dengan person) dengan suatu aksi tertentu. Lama-lama terjadi asosiasi
yang kuat antara keduanya dan asosiasi tersebut disimpannya dalam
ingatan (memory). Makin banyak asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam
ingatannya.
2. Model Linguistik
Menurut Chomsky, anak-anak
dilahirkan dengan dilengkapi dengan kemampuan untuk berbahasa. Melalui
kontak dengan lingkungan sosial, kemampuan bahasa tersebut akan tampak
dalam perilaku berbahasa.
Dari sudut pandang ini bahasa adalah suatu
kemampuan yang khas yang dimiliki manusia. Selain itu Chomsky dan
kawan-kawan menganggap bahwa perolehan bahasa tidak dengan cara induksi
seperti yang dijelaskan oleh mazhab empiris, melainkan karena manusia
secara biologis memang sudah diprogramkan (pre-programmed) untuk
memperoleh bahasa. Hampir semua anak memformulasikan data-data bahasa
yang diperoleh melalui hipotesis testing dan lambat laun anak menguasai
teori tentang gramatik.
Menurut Chomsky seorang anak bukanlah
suatu tabula rasa, melainkan telah mempunyai faculty of language
(faculty ialah kemampuan untuk berkembang atau untuk belajar). Faculty
ini adalah khas manusia sedangkan binatang tidak memiliki faculty
tersebut. Faculty ini berdiri sendiri tidak bergantung pada faculty
lain, seperti berfikir, pengamatan dan sebagainya namun semata-mata
berupa faktor linguistic dan berbeda dengan bentuk-bentuk berpikir yang
primitive seperti hewan. Apabila seorang anak memiliki faculty og
language, maka semua anak di dunia ini akan mengembangkan tipe-tipe
bahasa yang sama, yang berarti ada suatu cirri universal dalam segala
macam bahasa.
Faculty of language ini telah mengandung berbagai
aturan tata bahasa, sehingga anak tidak mengalami kesukaran dalam
belajar bahasa. Faktor linguistic bawaan ini oleh Chomsy disebut innate
mechanism. Bahwa anak-anak mempunyai innate mechanisme, dibuktikan dari
cara mereka menyusun kalimat-kalimat dengan aturan-aturan sendiri, yang
mustahil didapatnya dari luar (orang tua, guru dan masyarakat) karena
kalimat-kalimat yang didengarnya tidak demikian bentuknya. Lagi pula
input bahasa yang didapatnya relative masih sedikit untuk diindksikan
dari atura gramatika. Dalam kenyataan sehari-hari tata bahsa itu hanya
terlihat struktur lauarnya saja, sedangkan struktur dalam masih
merupakan tanda Tanya, dan struktur inilah yang dicoba oleh Chomsky
untuk diuraikan.
3. Model Kognitif.
Kelompok ini diwakili oleh
Piaget, Bruner, dan Vigotsky (Mar’at, 2001:86). Model ke tiga ini adalah
pandangan terbaru mengenai perolehan bahasa pada anak. Pandangannya
disebut dengan model proses atau analisis strategi. Inti dari pendekatan
baru ini adalah suatu model kognitif untuk bahasa yang mencoba
menjelaskan bagaimana bahasa itu diproses secara kognitif dan bagaimana
manifestasinya dalam tingkah laku. Model ini berusaha menghubungkan segi
performance dengan segi competence, hal mana belum diungkapkan
hubungannya oleh kedua pendekatan tersebut.
Para ahli dan
praktisi di dunia pendidikan khususnya dewasa ini lebih menyukai model
ketiga ini, yaitu yang memandang bahasa dari sudut prosesnya. Hubungan
antara bahasa dan perkembangan kognitif ditinjau dari pespektif
psikolugistik dewasa ini diterangkan sebagai berikut:
Bahwa anak-anak
dapat belajar bahasa memang berkat adanya hal-hal yang innate, akan
tetapi hal-hal yang innate ini bukanlah a set f idea seperti yang
diungkapkan oleh aliran rasional (Chomskysm), melainkan berupa kapasitas
kognitif dan kapasitas untuk belajar. Kedua kapasitas itu lebih general
dan predetermining sifatnya, tidak sederhana seperti yang diungkapkan
oleh aliran empiris (Skinnerism).
Kemampuan umum berarti bahwa
anak-anak menemukan pola-pola linguistic seperti hanya mereka menemukan
pola-pola persepsi dalam dunia penginderaan. Kedua proses ini merupakan
bagian dari perkembangan kognitif umum. Jadi, dikatakan bahwa seorang
individu itu berkembang, baik linguistic maupun perceptual adalah hasil
dari prosedur dan kesimpulan kognitif yang bersifat innate. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa apa yang disebut Chomsky sebagai suatu
universalitas bahasa tidak lain dari hasil proses-proses kognitif yang
diasumsikan universal sifatnya. Dengan demikian tranformasi yang
dibicarakan oleh Transformational Generative Grammar (TGG) dari Chomsky
sebenarnya adalah suatu operasi kognitif yang bukan hanya direfleksikan
dalam bahasa, akan tetapi juga dalam persepsi visual. Contohnya: bahwa
orang dapat membedakan antara kata benda dengan kata kerja dalam suatu
bahasa merupakan hasil dari strategi kognitif dalam membedakan antara
objek dan hubungan antara objek.
2.7 Aspek-aspek Berbahasa Anak
Setidaknya terdapat empat aspek dalam berbahasa (Marat, 2010), keempat aspek tersebut dipaparkan sebagai berikut:
1.
Kemampuan menggunakan bahasa untuk meyakinkan orang lain agar mau
melakukan sesuatu . aspek ini seperti yang dimiliki oleh para pemimpin
dan politikus.
2. Potensi yang membantu mengingat atau menghafal,
yaitu adanya kapasitas untuk menggunakan alat bantu mengingat informasi,
member jarak dan suatu urutan menjadi aturan permainan atau dari suatu
perintah menjadi prosedur meggerakkan sesuatu, misalnya mesin.
3.
Penjelasan, yaitu menjelaskan secara oral, membuat syair, mengumpulkan
pepatah atau peribahasa dan penjelasan singkat kemudian meningkat sampai
pada menggunakan kata-kata untuk menyusun sebuah tulisan.
4.
Berbahasa untuk menjelaskan bahasa itu sendiri, kemampuan menggunakan
bahasa untuk merefleksikan bahasa itu sendiri dan menggunakan analisa
metalinguistik. Ini tampak pada anak saat bertanya, “maksudmu yang mana,
yang merah atau yang abu-abu?”, ini dikatakan oleh anak dalam rangka
mengarahkan anak lain untuk kembali merefleksikan apa yang sudah
dikatakan.
Aspek bahasa lainnya adalah semantic (arti kata) dan
pragmatis (memandang sesuai keinginannya), yaitu dapat memanfaatkan
dengan baik mekanisme pemrosesan informasi secara lebih luas, dikaitkan
dengan organ bicara.
Maraat (2001) menjelaskan beberapa pendekatan
yang dipandang bermanfaat bagi perkembangan bahasa anak, pendekatan
tersebut adalah:
1. Menggunakan pendekatan informal
2. Memfokuskan diri pada maksud pembicara
3. Harapan dan keberhasilan
4. Bercirikan kreativitas
5. Menghargai keberhasilan
2.8 Implikasi bagi Kegiatan Pembelajaran
Setelah
mempelajari berbagai aspek terkait dengan perkembangan bahasa ada anak,
khususnya anak sekolah dasar, maka berikut disampaikan sejumlah
implikasi terhadap kegiatan pembelajaran anak sebagai berikut:
1.
Apabila kegiatan pembelajatan yang diciptakan bersfat efektif, maka
perkembangan bahasa anak akan dapat berjalan secara optimal. Sebaliknya
apabila kegiatan pembelajaran berjalan kurang efektif, maka dapat
diprediksi bahwa perkembangan bahasa anak akan mengalami berbagai
hambatan.
2. Bahasa adalah alat komunikasi yang paling efektif dalam
pergaulan sosial, sehingga sekiranya kita ingin menghasilkan
pembelajaran yang efektif untuk mendapatkan hasil pendidikan yang
optimal, maka sangat diperlukan bahasa yang komunikatif dan memungkinkan
semua pihak yang terlibat dalam interaksi pembelajaran dapat berperan
secara aktif dan poduktif. Dengan demikian guru Sd diharapkan sekali
banyak menggunakan bahasa anak daripada bahasa orang dewasa.
3.
Kendatipun setiap anak SD terutama yang ada di kota, memiliki kemampuan
potensial yang berbeda-beda namun pemberian lingkungan yang kondusif
bagi perkembangan bahasa sejak dini sangatlah diperlukan. Lingkungan
yang kondusif dapat tercipta sesuai dengan kebutuhan anak untuk
perkembangan bahasa pada saatnya, akan berdampak sangat positif terhadap
perkembangan bahasa anak, tidak hanya sebagai pengguna bahasa yang
pasif melainkan juga dapat menjadi pengguna ahasa aktif.
2.9 Pengaruh Bahasa Inggris terhadap Bahasa Indonesia
Pada
zaman globalisasi saat ini menuntut sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa asing terutama
Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Keahlian berbahasa asing
ini diperlukan untuk menguasai ilmu pengetahuan, memiliki pergaulan luas
dan karir yang baik. Hal ini membuat semua orang dari berbagai kalangan
termotivasi untuk mengusai Bahasa Inggris.
Kecenderungan masyarakat
akan penguasaan bahasa asing tersebut, membuat berbagai lembaga
pendidikan saling berlomba membuat program yang memasukan Bahasa Inggris
sebagai salah satu keahlian yang dikembangkan. Termasuk lembaga
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) . Hal ini berdasarkan asumsi bahwa anak
lebih cepat belajar bahasa asing dari pada orang dewasa. Sebuah
penelitian yang dilakukan Johnson dan Newport, menunjukan bahwa imigran
asal Cina dan Korea yang mulai tinggal di Amerika pada usia 3 sampai 7
tahun kemampuan Bahasa Inggrisnya lebih baik dari pada anak yang lebih
tua atau orang dewasa.
Penelitian lain yang menyatakan
kebermanfaatan menguasai bahasa asing lebih dini, dinyatakan Mustafa,
bahwa anak yang menguasai bahasa asing memiliki kelebihan dalam hal
intdlektual yang fleksibel, keterampilan akademik, berbahasa dan sosial.
Selain itu, anak akan memiliki kesiapan memasuki suatu konteks
pergaulan dengan berbagai bahasa dan budaya. Sehingga ketika dewasa anak
akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan bisa berprestasi .
Mustafa
menambahkan bahwa pemahaman dan apresiasi anak terhadap bahasa dan
budayanya sendiri juga akan berkembang jika anak mempelajari bahasa
asing sejak dini. Alasannya karena mereka akan memiliki akses yang lebih
besar terhadap bahasa dan budaya asing.
Pada saat ini Pendidikan
Anak Usai Dini sudah banyak di belajarkan tentang Bahasa Inggris. Baik
di playgroup,TK maupun SD. Oleh karena itu banyak orang tua yang ingin
memasukan anaknya ke TK ataupun SD yang tingkat pembelanjaran bahasa
inggrisnya lebih tinggi dan lebih kuat agar anaknya dapat mempelajari
bahasa inggris dengan baik dan benar.
Mungkin pada tingkat SD
pelajaran Bahasa Inggris sudah diharuskan karena untuk melatih anak-anak
untuk dapat mengetahui dasar-dasarnya. Untuk sebagian besar murid di
sekolah dasar, mata pelajaran bahasa Inggris merupakan mata pelajaran
baru dan sulit bagi mereka. Walaupun ada juga sebagian dari murid
tersebut sudah mempelajarinya. Di kota-kota besar di Indonesia telah
berkembang play group atau di taman kanak-kanak (TK) yang memberikan
bahasa Inggris pada usia dini. Mereka yang terlibat didalamnya juga
perlu memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak.
Melihat dari
fakta konsep untuk menerima dan memahami bahasa terutama bahasa Inggris
untuk tiap anak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini
dipengaruhi oleh fase perkembangan anak dan kemampuan untuk menerima
pelajaran. Terdapat empat fase perkembangan anak, yaitu : (1)
sensorymotor stage, dari lahir sampai usia 2 tahun ; (2) preoperational
stage, usia 2- 8 tahun ; (3) concrete operational stage, usia 8-11 tahun
; (4) formal stage, usia 11-15 tahun atau lebih.
Fase ini
tentunya tidaklah selalu sama bagi setiap anak, baik secara perorangan
dan kelompok. Fase-fase perkembangan dapat terjadi bersamaan waktunya,
tetapi perkembangan untuk setiap tingkat dapat tercapai dalam waktu yang
tidak bersamaan, apalagi untuk setiap jenis pengetahuan juga berbeda.
Konsep ZPD (zone of proximal development) oleh Vygotsky, pebelajar
memiliki dua fase perkembangan, yaitu fase perkembangan yang sebenarnya
(actual development) dan fase perkembangan potensial (potential
development). Fase perkembangan yang sebenarnya adalah fase ketika
kemampuan berfikir dan belajar sesuatu berhasil atas upaya sendiri.
Namun, dalam kenyataannya setiap anak dapat mencapai tingkat
perkembangan tersebut dengan bantuan orang lain (guru).
Karena bahasa
Inggris merupakan bahasa asing bagi anak, banyak kata bahkan hampir
semua kata yang berbahasa Inggris mereka tidak memahami, terkadang pada
saat proses belajar dikelas banyak anak yang bertanya arti dari sebuah
kata berbahasa Inggris. Contonya : “Miss, apakah arti look?” , “Miss,
read apa artinya?” dan masih banyak lagi pertanyaan dari murid yang
tidak tahu artinya. Nah, dari sini coba kita bayangkan kalaulah semuanya
bertanya atas ketidaktahuan mereka tentunya akan sulit untuk
melaksanakan proses belajar. Maka ada satu cara agar mereka mudah untuk
mengartikan kata-kata tersebut dan memahaminya dengan cara membuka
kamus. Dari hal ini, maka dianggap penting perlunya alat/media yang
dapat membantu murid untuk mentranslatenya kedalam bahasa Indonesia atau
sebaliknya dari bahasa Indonesia kedalam bahasa Inggris, yaitu
kamus/dictionary.
Apakah penting itu “dictionary”?, yes of course,
way not. Kamus adalah kumpulan kata-kata yang memiliki arti khusus.
Kamus bahasa Inggris sendiri terdiri dari banyak ragam yang terdapat
dipasaran. Kamus yang standar dapat digunakan anak sekolah dasar dalam
belajar.
Anak-anak disekolah dasar sebaiknya memiliki kamus sejak
kelas IV, karena tahap ini perkembangan anak telah bertambah denga
penguasaan ilmu pengetahuan yang lainnya. Sedangkan untuk kelas I – III
dan menggunakan kamus bergambar karena medianya lebih fan dan mudah
untuk memahaminya. Disinilah peranan guru untuk memberikan penjelasan
lebih lanjut agr anak-anak mengerti dan paham. Melibatkan murid secara
aktif sejak awal proses belajar dan sangat penting pada waktu
pembelajaran terjadi, karena jawaban ditemukan sendiri oleh anak
tersebut.
Anak atau murid yang rajin membawa kamus dan menggunakannya
selama proses belajar bahasa Inggris akan memiliki new knowledge
(pengetahuan baru) yang lebih banyak dari pada anak yang jarang atau
tidak menggunakan kamus. Tidak semua anak mau dan rajin untuk membawa
kamus kesekolah, ini dikarenakan bentuknya yang tebal dan berat ataupun
mereka belum memilikinya. Tidak memiliki kamus sama dengan tidak dapat
mengerjakan tugas, dan tidak tahu akan palajaran.
Hal ini dapat
menimbulkan rasa malas karena ketidaktahuan mereka atas apa yang akan
mereka kerjakan pada saat latihan. Karena untuk menambah pengetahuan
awal (prior knowledge) murid harus melewati suatu pengalaman.
Dikarenakan adanya kebiasaan tersebut lama kelamaan anak akan terbiasa
dan ingat sedikit demi sedikit arti dari kata-kata bahasa Inggris,
tentunya hal ini tidak dengan mudah/cepatnya untuk bisa dapat/menguasai,
tapi yakinlah dengan kebiasaan akan menjadi terbiasa.
Memahami murid
sebagai pelajar aktif, juga harus dipahami oleh guru yang mengajar
bahasa Inggris disekolah dasar. Menggunakan metoda yang mudah untuk
dipelajari (easy to study) dan mempermudah materi pelajaran yang
berhubungan dengan kehidupan mereka sehari-hari dan disekitarnya.
Pendekatan personal juga dapat diberikan oleh guru untuk menuntun murid
dalam proses belajar.
Pada waktu memperkenalkan bahasa Inggris kepada
anak-anak sebaiknya diawali dengan hal-hal konkret sebelum menuju ke
hal-hal yang bersifat abstrak, selain itu, jangan hanya menghandalkan
bahasa lisan karena bahasa saja tidak cukup. Kegiatan untuk anak-anak
juga harus melibatkan aspek pikiran (kognitif) dan gerakan tubuh. Jangan
sekali-kali kita menganggap semua anak akan mengerti apa yang kita
perbincangakan (dalam bahasa Inggris), karena anak-anak tidak selalu mau
bertanya. Mereka mengerti, tetapi menurut pemahaman mereka sendiri.
Apabila ini yang terjadi maka akan terjadi misunderstanding.
Jadi,
menggunakan kamus/dictionary dalam balajar bahasa Inggris sangat
memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat penguasaan bahasa
Inggris bagi murid sekolah dasar. Dan masih banyak cara lain yang dapat
ditempuh untuk mempermudah anak untuk mengerti berbahasa Inggris.
Keterkaitan
antara bahasa dengan budaya memang seperti dua sisi mata uang. Ketika
mempelajari suatu bahasa maka otomatis kita akan mempelajari kebudayaan,
nilai-nilai sosial, moral dan kemasyarakatan si penutur bahasa dan
setting dimana bahasa tersebut digunakan. Pengaksesan bahasa asing sejak
dini akan membuat anak secara otomatis mempelajari budaya masyarakat
penutur asli bahasa tersebut.
Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia
merupakan bahasa asing pertama. Kedudukan tersebut berbeda dengan bahasa
kedua. Mustafa dalam hal ini menyatakan bahwa bahasa kedua adalah
bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa
tersebut digunakan dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa
asing adalah bahasa negara lain yang tidak digunakan secara umum dalam
interaksi sosial.
Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia tersebut
mengakibatkan jarang digunakannya Bahasa Inggris dalam interaksi sosial
di lingkungan anak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menggunakan bahasa
pengantar Bahasa Inggris karena pemerolehan bahasa asing bagi anak
berbanding lurus dengan volume, frekuensi dan penggunaannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan program pembelajaran dengan
pengantar Bahasa Inggris tersebut mendapat berbagai kendala mengingat
kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia sebagai first foreign languange
(bahasa asing pertama). Artinya, Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa
pada kalangan tertentu, tidak digunakan oleh masyarakat umum seperti
jika kedudukannya sebagai bahasa kedua. Hal ini menyebabkan kurangnnya
interaksi anak terhadap Bahasa Inggris. Selain itu terdapat juga
berbagai pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing
yang bisa mempengaruhi perkembangan bahasa ibu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kemampuan
berbahasa Indonesia adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi
masyarakat Indonesia, tidak terkecuali murid sekolah dasar. Dalam bidang
pendidikan dan pengajaran di sekolah dasar, bahasa Indonesia merupakan
mata pelajaran pokok. Pelajaran bahasa Indonesia diajarkan kepada murid
berdasarkan kurikulum yang berlaku, yang di dalamnya (kurikulum
pendidikan dasar) tercantum beberapa tujuan pembelajaran.
Sebagai
suatu alat komunikasi, bahasa memiliki seperangkat sistem yang satu sama
lain saling mempengaruhi yaitu fonem, morfem, sintaksis, semantic dan
pragmantik. Ada dua ragam komunikasi yang digunakan manusia melalui
bahasa, yaitu ragam bahasa lisan dan ragam tulisan.
Setiap bahasa
memiliki seperangkat sistem, yaitu sistem bunyi bahasa, sistem
gramatikal (tata bentuk kata, tata bentuk kalimat), tata makna, dan kosa
kata. Perangkat sistem ini ada dalam benak penutur. struktur bahasa
ragam lisan anak-anak pun dapat dianalisis melalui unsur-unsur bahasa
yang dugunakannya. Di samping itu, aturan-aturan yang berlaku juga dapat
digunakan sebagai tolak ukur baku atau tidaknya penggunaan bahasa
secara keseluruhan.
Sebaiknya penggunaan bahasa Indonesia lisan dalam
situasi formal atau resmi hendaknya digunakan ragam bahasa baku.
Demikian juga, dalam proses belajar mengajar di kelas, karena dituntut
penggunaan bahasa yang cermat terutama terkait dengan keperluan
keilmuan, maka hendaknya menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Namun,
tidak dapat disangkal bahwa seseorang (dwibahasawan) akan mengalihkan
atau mencampurkan bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan pada
saat komunikasi sedang berlangsung.
3.2 Saran
Bahasa telah
berkembang sejak anak berusia 4 – 5 bulan. Orang tua yang bijak selalu
membimbing anaknya untuk belajar berbicara mulai dari yang sederhana
sampai anak memiliki keterampilan berkomunikasi dengan mempergunakan
bahasa. Oleh karena itu bahasa berkembang setahap demi setahap sesuai
dengan pertumbuhan organ pada anak dan kesediaan orang tua membimbing
anaknya, karena itu terimalah keunikan mereka dengan kelebihan dan
kekurangan yang mereka miliki. Bantu dan beri dukungan anak untuk
mengenali kelebihan dan menerima kekurangan mereka. Bantu membuat
strategi belajar untuk mengatasi kekurangan mereka, berikan alat-alat
bantu dan peraga sehingga anak mampu menyentuh, melihat dan mendengarnya
serta menghubungkan dengan konsep yang dipelajari, menciptakan suasana
belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar.
Bagi para orang
tua dampingi anak ketika belajar dan mengerjakan PR. Dengan pemahaman
akan kekurangan mereka dan mengingat kelebihan yang mereka miliki akan
meningkatkan kadar kesabaran para orangtua, demikian pula guru. Bekerja
samalah dengan guru, sehingga ada kesinambungan dalam pengamatan
perkembangan anak serta dukungan moral dan emosional buat anak terutama
saat di sekolah dan berilah pujian ketika anak berhasil melakukan
tugasnya, bantu dan dukung untuk mengembankan kepercayaan diri dan
kemandirian dalam belajar.